Bisa Picu Perang Fitnah, Benar kah Prabowo Galau dan Tertekan?

topmetro.news – Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia (UI) Effendi Gazali menilai, pernyataan Prabowo Subianto tentang ‘elite goblok’ dan ‘mental maling’ menunjukkan, Ketua Umum Partai Gerindra itu sedang dalam kondisi galau atau gundah.

Pasalnya, Prabowo diduga sedang terdesak oleh waktu pendaftaran Capres-Cawapres 2019 yang kian dekat.

“Tepatnya orang di bawah tekanan waktu mengalami kegundahan. Gundah atau galau juga boleh,” kata Effendi dalam acara peluncuran buku dan diskusi ‘Intelijen dan Pilkada: Pendekatan Strategis Menghadapi Dinamika Pemilu’ di Toko Buku Gramedia, Matraman, Jakarta, Selasa (3/4/2018).

Dia menjelaskan dari perpektif psikologi komunikasi, orang yang tertekan oleh waktu akan mudah gundah dan kesal.

Pada 4-10 Agustus 2018, dibuka tahapan pendaftaran capres-cawapres untuk Pilpres 2019. Untuk mendaftar harus memenuhi Presidential Threshold 20 persen sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan keputusan MK.

Maju Atau Nggak

“Kalau maju, harus 20 persen, sementara lihat sebelah sana. Pak Jokowi banyak benar yang dukung, lebih dari 20 persen. Jangan-jangan 70 sampai 80 persen. Sementara saya (Prabowo) maju atau nggak ini. Nah, kemarahan terhadap sistem, bisa menyebabkan orang di bawah tekanan waktu, bisa memilih kosa kata yang bunyinya beda,” terang dia.

Di tengah koalisi yang belum jelas, tekanan bagi Prabowo bertambah dengan munculnya tokoh alternatif seperti mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo. Apalagi, nama Gatot sedang naik daun. Mungkin itu salah satu sebab, pernyataan Prabowo itu keluar.

“Partainya terus mendorong dia (Prabowo) supaya maju. Tetapi maju pakai apa, nggak cukup, makanya harus berkoalisi. Kemudian koalisi seperti apa dan dengan siapa. Tetapi dari sana Gatot lagi naik daun juga. Jadi jangan-jangan Gatot yang maju, bukan saya (Prabowo),” tandas dia.

Marah Terhadap Sistem

Lebih lanjut, Effendi mengatakan bisa juga pernyataan Prabowo itu memang benar-benar sebuah kemarahan terhadap sistem pemilu yang melahirkan banyak elite yang suka maling dan merampok uang rakyat. Menurut dia, hal tersebut sangat manusiawi.

“Kan manusiawi dan boleh dong Prabowo marah terhadap elite-elite yang disebut bermental maling. Itu kan jelas para koruptor di partai tertentu. Tidak harus di Jakarta, di daerah juga bisa, merampok uang rakyat,” pungkas dia.

Di acara yang sama, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai kritikan Prabowo ada benarnya. Menurut Mahfud, kalau dicari pasti ditemukan elite yang bermental demikian.

“Kalau mau dicari, pasti ada yang begitu. Yang baik juga ada,” ujar Mahfud.

Dalam dunia politik, kata dia, banyak juga orang yang seperti Prabowo. Begitu pun sebaliknya, orang yang tidak seperti Prabowo juga banyak.

“Kan sama aja, cari orang-orang seperti Prabowo banyak. Yang tidak seperti Pak Prabowo juga banyak. Itu dalam politik biasa aja. Yang pasti bisa dibuktikan kalau dicari,” tandas dia.

Picu Perang Fitnah

Sementara itu, Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo menilai‎ pernyataan ‘elite goblok’ dan ‘mental maling’ yang dilontarkan Prabowo Subianto bisa mempertajam polarisasi dan kebencian dalam masyarakat.

Ia menjelaskan karena dilontarkan di tahun politik saat pilkada serentak dan jelang pilpres, pernyataan tersebut jelas bermotif politik. Tujuannya untuk menaikkan polarisasi dukungan dan pembelahan kepentingan antar kubu politik.

Hal ini dikhawatirkan menjalar dan melebar menjadi polemik dan saling tuduh di antara kelompok kepentingan.

“Lebih jauh lagi akan meruncingkan polarisasi di lapis massa pendukung. Sehingga dikhawatirkan bisa melebar menjadi perang fitnah, kebohongan, dan hoax di lapis media sosial dan masyarakat. Kondisi ini akan menjadi lahan baru reproduksi kebohongan dan kebencian,” jelas Ari, Selasa (3/4/2018).

Anti Demokrasi Elektoral

Menurutnya, dalam konteks menuju pilpres, gaya komunikasi seperti ini menjauhkan demokrasi elektoral yang harusnya dipenuhi kegembiraan beradu program dan gagasan menjadi teror tudingan dan tuduhan beraroma permusuhan. Pemilu yang seharusnya pesta demokrasi malah menjadi arena menebar permusuhan di antara elite dan di lapis massa pendukung.

“Pemilu seharusnya dipenuhi dengan kontestasi visi baru dan program tandingan, tetapi malah dijejali perang kata-kata yang kosong dari solusi suara pembaruan untuk Indonesia yang lebih maju dan demokrasi yang lebih baik,” kata Ari.

Tuduhan Terselubung

Pernyataan Prabowo yang disampaikan dalam sebuah pidato di tengah pendukungnya di Cikampek, 31 Maret silam, mengindikasikan adanya tuduhan terselubung terhadap pemerintah. Ini kata analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto.

Menurut Arif, dalam beberapa waktu terakhir bangsa ini mendapati adanya gesekan antar-elite yang diekspresikan lewat pernyataan-pernyataan ofensif untuk menyerang lawan politik. Namun, tanpa dukungan bukti faktual dan disampaikan dengan nada negatif.

“Pernyataan-pernyataan semacam itu dapat jatuh menjadi semacam insinuasi atau tuduhan tersembunyi,” kata Arif.

Tuduhan tersebunyi tersebut dapat secara mudah dinterpretasikan sebagai kebenaran yang minim upaya ‘fact checking’ oleh massa pendukung. “Sementara orang kerap terbuai oleh gaya bahasa eufemistik dalam tuduhan tersembunyi semacam itu,” paparnya.

Perbaiki Komunikasi Politik

“Elite tampaknya perlu memperbaiki cara komunikasi politik mereka menjadi lebih logis dan dewasa. Tujuan untuk meningkatkan elektabilitas tidak harus diraih lewat jalan insinuasi. Jauh lebih elegan dan bermanfaat bagi publik seandainya komunikasi antar-elite mampu menunjukkan apa yang keliru dan apa yang mesti dilakukan untuk memperbaiki kehidupan negara,” kata Arif.

Menurutnya,‎ pemerintah sendiri tidak perlu bersikap reaksioner menghadapi insinuasi, tetapi cukup dijawab dengan menunjukkan apa yang keliru pada argumen tanpa akurasi fakta. Lebih lanjut, transparansi dan integritas adalah tameng terbaik dari serangan insinuasi.

“Hal terakhir inilah yang harus dibuktikan oleh pemerintah,” tegas Arif. (TM-RED)

sumber: beritasatu.com

Related posts

Leave a Comment